Minggu, 26 Juni 2011

Di balik Sajak Menjelang Tidur

(Masih hari kedua mengerjakan proyek menulis 30 hari, dan ternyata lagi-lagi harus keluar jalur dari tema yang sudah ditetapkan setiap harinya. Apa artinya inilah si "aku" yang ternyata susah untuk mengerjakan sesuatu sesuai aturan dan prosedur, alias susah untuk diatur? heheh)

Sejujurnya, aku belum pernah meresensi atau membuat review untuk sebuah buku, film atau juga puisi orang lain. jadi dalam postingan ini jangan berharap juga menemukan sesuatu yang "wah" atau sesuatu yang tajam, atau cerdas. Karena dalam postingan ini aku hanya ingin bercerita tentang buku yang kubaca sampai lebih dari tiga kali. (buku inipun sampai keriting, saking seringnya saya baca sebelum tidur)

Ada sebuah buku kumpulan puisi yang sejak tahun 2008 selalu aku baca berulang. Ini buku puisi yang pertama aku beli sejak aku mulai jatuh cinta pada puisi dan tertarik untuk menulis puisi (ya, curhat dengan puisi tepatnya). Buku ini adalah kumpulan buku puisi Wendoko yang judulnya Sajak-Sajak Menjelang Tidur. Mungkin beberapa kali aku menulis puisi terisnpirasi setelah membaca salah satu karyanya dalam buku ini. 

Yang menarik dalam buku ini adalah ada beberapa  puisi yang berlatar belakang budaya Tiongkok. Puisi-puisinya menurutku sedehana, tidak sulit dicerna, tidak berakrobat kata, dan seperti menyiratkan bayangan cerita serta. Satu lagi, nostalgis. Sangat cocok untuk jadi bacaan sebelum tidur. (inilah keanehan, aku menyukai jenis2 puisi seperti ini, tapi puisiku sendiri jauh dari tipikal puisi dengan citraan terang dan simpel seperti yang ada dalam buku ini). Ada banyak puisi yang aku suka dalam buku ini, tapi rata-rata agak panjang. Aku coba tulisakan beberapa yang tidak terlalu panjang. 

Dongeng Sebelum Tidur (06) 
: untuk Li Fu Yen

"Tiap malam, sebelum kabut turun dan bulan bulat sempurna, dewa langit (yang entah siapa namanya, tapi kata orang dia bertubuh kecil, berwajah tua - lengkap degan jenggot yang putih dan  berpakaian lusuh) datang ke bumi. Lalu, sebelum lewat subuh dan embun laksana butiran yu di daun-daun, ia mencari kanak-kanak (lelaki dan perempuan) yang baru dilahirkan, lalu mengikat kaki mereka dengan benang sutra merah. Sejak itu mereka adalah Kekasih Surgawi - yang saat bertemu, akhirnya menyatu. Kdang datang lelaki atau perempuan lain (katakanlah orang ketiga) yang membuat benang sutra merah bergetar, hingga kanak-kanak itupun mati rela" 
     "......Lalu, kenapa kau coba membunuhku empat belas tahun yang lalu?" 


St, Klara. Autumn 1986 (6th poscard)

Malam, adalah kota belantara warna hitam dengan kedipan lampu-lampu. Tak ada langit, dan dari jendela apartement - setelah seharian memandang trotoar yang sibuk, gedung bertingkat, dan bangunan berkotak-kotak - kulihat jalanan lengang di bawah lampu-lampu. Ada bintik-bintik cahaya berwarna merah dari gedung-gedung yang tak tampak - sebentar memendar sebentar padam - tapi kelihatan buram di jendela sehabis hujan. Lalu petak-petak cahaya di kaca-kaca, neon tube di menara-menara....Sementara di luar apartement, ada yang bersenandung It's a Wonderful World, dan suara tiktok suara jam berdetak memadati ruangan.
*** 

Sebetulnya barusan sebelum (dan sambil) membuat postingan ini aku sempat membolak balik kembali halaman-halaman pada buku ini, jadi teringat dan berfikir tentang perbincangan dengan beberapa teman mengenai puisi, haiku, haibun dan teori show dont't tell. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan teori itu dengan benar seperti apa (dengan bahasaku yang tak seberapa ini akan jadi ribet), tapi mungkin selama ini buku yang sudah lebih dari 10 kali aku baca ini seharusnya membuatku paham dan memberikan banyak contoh apa itu teori "show don't tell". Sepertinya harus kubaca lagi - untuk kesekian kali.

2 komentar:

Swallow Learn To Fly mengatakan...

sejujurnya mbak, aku nggak pernah ngerti sajak2nya Wendoko. Bahkan ketika kau pernah komentar di salah satu tulisanku yang mengingatkanmu pada sajaknya Wendoko. aku penasaran dengan komentarmu, mbak

aku carilah saat itu bukunya wendoko. untungnya ketemu, tapi ya itu tadi, sepertinya jangan menyuruhku untuk mengartikannya hehehehehehe

April's Corner mengatakan...

sebetulnya, jika dibaca berulang...kebanyakan puisi dia bercerita...(itu persis rasanya kalo aku baca haiku or haibun, atu seperti baca penggalang sketsa gitu). untuk beberapa cerita awal yang ada cerita budaya tiongkoknya , mungkin akan dipahami kalo sedikit tau sajak itu penggalan cerita apa. (itu menurutku)

tapi, beberapa puisinya yang st. klara autumn, dll... buat ku itu sangat nostalgis - *sok pencinta kenangan* heheheheh